EURICO B.G. GUTERRES, SANG LEGENDA PEJUANG MERAH PUTIH
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”, demikian pesan founding father Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Pesan tersebut tentu tidak asing di setiap telinga orang Indonesia. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya”, kutipan ini juga pasti tidak asing bagi kita. Pada tahun 1976, Timor Timur resmi bergabung ke dalam NKRI berdasarkan UU no. 7 tahun 1976.
Banyak penduduk asli Timor Timur yang memerjuangkan integrasi Timor Timur ke Indonesia. Pemerintah seakan-akan telah melupakan perjuangan mereka, hal itu dibuktikan dengan tidak adanya penghargaan gelar Pahlawan Nasional kepada satu atau beberapa pejuang integrasi yang telah meninggal, jarang ada satu bab dalam buku mata pelajaran sejarah yang khusus membahas proses integrasi Timor Timur, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap nasib para pengungsi eks Timor Timur yang setia dengan Merah Putih yang kondisinya kian hari kian memrihatinkan.
Berikut adalah nama para tokoh yang memerjuangkan maupun memertahankan integrasi Timor Timur ke dalam NKRI :Eurico Guteres, sang pejuang Pembela merah putih... demi NKRI dan demi Merah Putih, ia rela meninggalkan kampung halaman, keluarga dan harta benda. Eurico Barros Gomes Guterres, kelahiran Viqueque, Timor Timur, adalah pejuang integrasi Timor Timur yang disebut-sebut direkrut oleh militer Indonesia. Ia dituduh terlibat dalam sejumlah pembantaian di Timor Timur. Eurico dituding pula sebagai pemimpin milisi utama yang terlibat pembantaian pascareferendum dan penghancuran Dili, ibu kota Timor Timur--nama Timor Leste sebelum lepas dari Indonesia.
Eurico dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada November 2002. Putusan ini kemudian dikuatkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Ia baru mulai dipenjarakan pada tahun 2006, setelah gagal dalam upaya banding yang diajukan.
Dalam persidangan maraton di Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc, Eurico didakwa sebagai provokator dalam penyerangan rumah Manuel Viegas Carascalao, 17 April 1999, sehingga menewaskan 12 orang dan mencederai puluhan lainnya. Namun, pada April 2008, Eurico yang mengajukan peninjauan kembali, dibebaskan dari segala tuduhan melalui keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan telah menemukan novum atau bukti baru.
Beberapa saat setelah menghirup udara kebebasan mantan Komandan Milisi Aitarak ini menggelar jumpa pers. Eurico menyatakan: "Orang yang sudah diadili, orang yang sudah dihukum karena kasus yang sama, tidak mungkin, tidak bisa diadili untuk kedua kalinya". Ia mengatakan telah menjalani aturan hukum di Indonesia. Tapi, dirinya tak akan mematuhi hukum internasional yang akan mengadilinya.
Dengan keluarnya Eurico Guterres dari penjara, berarti 18 terdakwa (dari militer dan kepolisian) kasus pelanggaran HAM Timor Timur telah dibebaskan. Empat tahun sebelumnya, Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur periode 1992 hingga 2002. yang juga menjadi terpidana kasus pelanggaran HAM di Timtim dibebaskan. Dia bisa menghirup udara bebas dari Penjara Cipinang setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang membatalkan vonis tiga tahun majelis hakim Peradilan Ad Hoc HAM, pertengahan Agustus 2002.
Jauh sebelumnya, tepatnya 22 September 1999,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur. KPP HAM yang diketuai Albert Hasibuan kemudian memusatkan perhatian pada kasus-kasus utama sejak Januari sampai Oktober 1999. Kasus-kasus itu meliputi: pembunuhan di kompleks Gereja Liquica, 6 April; penculikan enam orang warga Kailako, Bobonaro 12 April; pembunuhan penduduk sipil di Bobonaro; penyerangan rumah Manuel Carrascalao, 17 April; penyerangan Diosis, Dili, 5 September; penyerangan rumah Uskup Belo, 6 September; pembakaran rumah penduduk di Maliana, 4 September; penyerangan kompleks Gereja Suai, 6 September; pembunuhan di Polres Maliana, 8 September; pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes, 21 September; pembunuhan rombongan rohaniwan dan wartawan di Lospalos, 25 September; dan kekerasan terhadap perempuan.
Di tahun 1999, suhu politik dan keamanan di Timor Timur, memang kian panas [Baca: Keluar Juga Kerikil dalam Sepatu Itu]. Dalam kesaksian saat persidangan terhadap Tono Suratman, bekas Komandan Resor Militer Wiradharma, mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto mengakui tahu kerusuhan bakal terjadi setelah pemerintah menyampaikan dua opsi (otonomi atau kemerdekaan) kepada masyarakat Timor Timur. Namun, menurut Wiranto, pasukan TNI tidak bisa menghentikannya. "Daerah Timor Timur memang rawan konflik. Kami sudah mencegah, kalau nggak pasti sudah terjadi perang saudara," kata Wiranto.
Memang, saat itu, dalam waktu bersamaan muncul berbagai kebijakan politik dan keamanan terhadap Timor Timur. Ini kemudian justru memperkuat kelompok-kelompok sipil bersenjata yang dikenal sebagai milisi dan meningkatnya bentuk-bentuk kekerasan. Serta, munculnya reaksi dari kelompok masyarakat pro-kemerdekaan. Bentrokan fisik maupun bersenjata pun kerap terjadi di antara kedua kelompok.
Berdasarkan laporan Pangdam Udayana Mayor Jenderal TNI Adam R. Damiri kepada Feisal Tanjung--Menteri Koordinator Politik Keamanan saat itu, dinyatakan bahwa kelompok pro-integrasi dimotori oleh para pemuda yang mendirikan organisasi cinta merah putih. Laporan-laporan lainnya menyebutkan para pemuda yang membentuk organisasi cinta merah putih tersebut sebelumnya adalah anggota Gada Paksi atau Garda Muda Penegak Integrasi yang dihimpun, dilatih dan dibiayai oleh Kopassus tahun 1994-1995.
Nah, Eurico Guterres yang tak lain pemimpin milisi Aitarak di Dili adalah tokoh dalam Gada Paksi tersebut. Kelompok-kelompok milisi itu lalu bergabung ke dalam Pasukan Pejuang Integrasi dengan panglimanya Joao Tavares dan wakilnya Eurico Guterres serta kepala stafnya, Herminio da Costa da Silva. Kelompok-kelompok pro-integrasi ini menurut keterangan sejumlah bupati dan Gubernur Timor Timur disebut Pam Swakarsa. Keberadaan milisi pro-integrasi pun diakui oleh Jenderal TNI Wiranto.
Institusi kepolisian pun seakan tak berfungsi menerapkan tindakan hukum dalam kasus-kasus kekerasan. Soal ini, mantan Kepala Kepolisian Daerah Timor Timur semasa pelaksanaan jajak pendapat, Timbul Silaen, menilai beberapa peristiwa penyerangan yang terjadi disebabkan oleh dua hal. "Ada lubang-lubang yang tidak tuntas dalam pelaksanaan kesepakatan itu (kesepakatan otonomi khusus Timor Timur)," ujar dia, dalam forum dengar pendapat yang digelar Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste, awal Mei 2007.
Menurut Timbul, ketika kesepakatan itu ditandatangani, ada proses kantongisasi pelucutan senjata. "Pelucutan senjatanya tidak beres. Katanya senjata harus dilucuti dan dikumpulkan, tapi ternyata tidak," ujar dia. Akibatnya, penyerangan terus terjadi. Faktor percepatan pelaksanaan jajak pendapat, menurut Timbul juga menjadi salah satu faktor.
Akhirnya, hasil jajak pendapat menunjukkan hanya 21,5 persen rakyat Timor Timur menerima Otonomi Khusus dan tetap bergabung dengan NKRI, seperti yang ditawarkan Presiden B.J. Habibie. Selebihnya, 78,5 persen menolak tawaran tersebut dan memilih lepas dari Indonesia. Setelah itu, kelompok pro-integrasi menyambut hasil jajak pendapat dengan “membumihanguskan” Bumi Loro Sae. Opsi yang ditawarkan Presiden Habibie dituding sebagai sumber malapetaka.
Ibarat jarum jam yang terus berputar ke depan, kala itu sejarah tidak bisa diulang di Timor Timur. Seperti pada 1975, sewaktu beberapa kelompok politik di sana menyatakan bergabung dengan Indonesia.
Setelah lepas, bekas provinsi ke-27 Indonesia itu berada dalam naungan pemerintahan sementara PBB di Timtim atau UNTAET [Baca: UNTAET Muluskan Bisnis Aussie]. Dan, pada 20 Mei 2002, Timor Timur menjadi negara baru: Republik Demokrat Timor Leste
0 komentar:
Post a Comment